Dewasa ini telah banyak kasus-kasus yang
terjadi akibat kurangnya ketelitian dokter dalam menjalankan tugas profesinya,
sehingga memperburuk keadaan pasien. Salah satu contohnya adalah kasus
pencabutan gigi yang dilakukan tanpa persetujuan, seperti dibawah ini.
NOVI, 9 tahun, berangsur-angsur sembuh.
Mulutnya yang mencong mulai kembali ke posisi semula. Kelopak matanya yang
terbuka sedikit ketika tidur sudah bisa mengatup. Sebelumnya membelalak terus.
Tapi Machfud, orangtua Novi, tetap mengajukan tuntutan. Kasus ini pekan lalu
dilaporkan ke Polres Cianjur, Jawa Barat. Menurut ayahnya yang pegawai PLN
Cianjur itu, Novi mengalami gangguan saraf setelah giginya dicabut.
Peristiwanya terjadi November tahun silam. Ketika itu 27 dokter gigi yang baru
lulus dari Universitas Trisakti, Jakarta, mengadakan aksi sosial di Cianjur.
Seminggu mereka buka praktek memeriksa gigi cuma-cuma di Balai Desa Cibeber.
Termasuk anak yang terpikat memeriksakan giginya adalah Novi, pelajar SD Negeri
Hanjawar, Cibeber. Atas inisiatifnya sendiri, hari itu Novi datang tidak
bersama orangtuanya — dan inilah yang kemudian menimbulkan masalah. Menurut Ida
Sofiah, Kepala SD Hanjawar, Novi bukan satu satunya pelajar yang tertarik.
“Mereka mau memeriksakan giginya karena dijanjikan ada hadiah, pasta dan sikat
gigi. Namanya juga anak-anak, mereka tertarik pada hadiah gratis itu,” kata
Ida.
Dalam pemeriksaan, para dokter gigi muda
itu menemukan, pada rahang bawah, salah satu gigi susu Novi sudah goyah. Selain
membersihkan giginya yang kebanyakan keropos, mereka sekaligus mencabut gigi
yang goyang tadi. Sesudah itu, tidak ada peristiwa luar biasa. Dua hari setelah
pencabutan giginya, muncullah keluhan Novi. Dan yang mengejutkan orangtuanya,
bibirnya kemudian mencong. Bahkan kelopak matanya tak bisa ditutup walaupun
ketika tidur. Lalu Novi dibawa berobat pada dr. Arief di poliklinik PLN.
Setelah memeriksanya, dokter ini menganjurkan agar Novi dibawa ke RS Hasan
Sadikin Bandung untuk menjalani fisioterapi. Anak itu, menurut Arief, mengalami
kontraksi otot. Dalam perawatan di RS Hasan Sadikin, tiga kali seminggu Novi
mendapat pengurutan dan latihan fisioterapi. Kata dokter yang tak mau disebut
namanya yang merawatnya di sana, Novi mengalami trauma. Cuma tak ada keterangan
rinci jenis trauma apa, bahkan apakah itu berasal dari gigi yang dicabut.
Perawatan sampai dua bulan.
Bulan ketiga ayah Novi menghentikan
perawatan anaknya. “Kami kehabisan dana. Perawatan sudah menghabiskan Rp 750
ribu,” kata Machfud. Dan muncul pula penyesalannya: mengapa pihak Fakultas Kedokteran
Gigi (FKG) Universitas Trisakti lepas tangan. “Jangankan memberi bantuan,
menengok anak saya pun tidak,” katanya. Menurut Machfud, pada 22 Februari ia
hanya menerima surat dari drg. Hamilah D. Koesoemahardja, Dekan FKG Trisakti.
Dalam surat itu, Hamilah menolak perkiraan bahwa gangguan saraf yang diderita
Novi berpangkal dari pencabutan giginya. “Kesimpulan kami ini tidak terdapat
kaitan antara pencabutan gigi susu itu dan kelainan pada mulut dan mata Novi,”
tulis Hamilah. Juga dijelaskan oleh Hamilah, pada Februari telah diadakan
pertemuan untuk membahas kasus Novi. Pertemuan dihadiri aparat Pemda dan Dinas
Kesehatan Cianjur, dr. Arief, serta pihak FKG Trisakti. Dalam pertemuan
tersebut dr. Arief mengutarakan hasil pemeriksaannya, yang menunjukkan pada
bekas gigi yang dicabut itu telah tumbuh gigi baru. Dan di bagian itu juga tak
terdapat pembengkakan. Karena itu, Hamilah menyimpulkan, pencabutan gigi tidak
menimbulkan kelainan. Sewaktu dihubungi wartawan TEMPO, pihak FKG Trisakti
menampik memberi keterangan resmi. Mereka, kata seorang pejabat di sana,
memilih bersikap diam. “Baik secara teknis maupun medis, kami tidak melakukan
kesalahan,” kata seorang pengajar yang menolak namanya disebut. “Dan para
dokter yang melakukan aksi sosial itu bisa dipertanggungjawabkan kemampuan
profesionalnya. Mereka bukan mahasiswa.” Dari keterangan yang digali, kemudian
terungkap, sebelum dan sesudah pertemuan FKG Trisakti dengan aparat Pemda dan
Dinas Kesehatan Cianjur, sebenarnya pihak FKG Trisakti sudah berusaha mendatangi
keluarga Machfud. Ikhtiar ini dicegah oleh aparat Pemda Cianjur, yang
mengatakan “akan membereskan” persoalan tersebut. “Karena itu, kami merasa
sudah tidak ada masalah lagi,” ujar sebuah sumber. Ada masalah atau tidak,
sering terdengar bahwa pencabutan gigi bisa menimbulkan gangguan saraf dan
kerusakannya permanen — seperti mulut mencong. “Dalam literatur memang ada,”
kata drg. Ayu Astuti, ahli bedah rahang RS Hasan Sadikin. Akibatnya juga bisa
berlangsung lama. Hanya, peristiwa semacam ini jarang terjadi. “Selama
berpraktek, saya belum pernah menemukan kasus semacam itu,” ujar Astuti.
Kemungkinan penyebab terjadinya gangguan saraf, tambah Astuti, adalah kesalahan
menyuntik ketika melakukan pengebalan. Atau saat pencabutan dilakukan ada saraf
yang terkena. Dan gangguan ini lazim terjadi langsung setelah penyuntikan atau
pencabutan. Dari segi medis, memang banyak yang masih harus diperdebatkan.
Sedangkan menurut Machfud, “Masalahnya bukan cuma itu saja.” Tuntutannya juga
didasarkan karena gigi anaknya dicabut tanpa meminta izin padanya. “Izin itu
memang diperlukan,” kata dr. Budi Sayuto, wakil direktur pelayanan medik RS
Hasan Sadikin. Karena pencabutan itu termasuk tindakan invasif, orangtua Novi
perlu mendapat penjelasan tentang akibatnya. Setelah menerima penjelasan,
orangtuanya harus memberikan persetujuan dengan menandatangani surat
pernyataan. Ini prosedur resminya. “Tapi kalau pencabutan gigi tidak diperlukan
izin tertulis,” kata Budi Sayuto.
PEMBAHASAN
Seorang dokter maupun dokter gigi seharusnya
meringankan beban yang diderita pasien, bukan malah memperburuk keadaan pasien.
Dan sebelum melakukan tindakan medis, hendaknya dokter tersebut meminta
persetujuan pasien atau keluarganya dengan cara diberikan pemahaman yang benar
agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hal ini terkait dengan prinsip bioetika
beneficience (mengutamakan kepentingan pasien), non-maleficience (tidak
memperburuk keadaan pasien), dan autonomy (menghormati hak pasien dalam
memutuskan).
Selain itu hal tersebut juga terkait
dengan Undang-undang Praktik Kedokteran Pasal 66 yang menyebutkan :
1.
Setiap orang yang mengetahui dan kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan
secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia.
2.
Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a.
Identitas pengadu
b.
Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan
c.
Alasan pengaduan
3.
Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana
kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Hak pasien untuk mendapat informasi dan
hak untuk memberikan persetujuan tindakan medic diatur dalam Pasal 53 ayat (2)
yang berbunyi:
“Tenaga kesehatan dalam melakukan
tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak
pasien“
Yang dimaksud dengan hak pasien antara
lain adalah :
·
Hak informasi
·
Hak untuk memberikan persetujuan
·
Hak atas rahasia kedokteran
·
Hak untuk mendapat pendapat kedua
Persetujuan yang diberikan oleh pasien
atau keluarga pasien terhadap tindakan medic dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu persetujuan secara tersirat maupun persetujuan secara tersurat. Semua
persetujuan tindakan medic yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien
harus berdasarkan penjelasan yang lengkap dan jelas mengenai :
· Diagnosis
· Terapi
dengan kemungkinan slternatif terapi
· Tentang
cara kerja dan pengalaman dokter
· Resiko
kemungkinan perasaan sakit atau perasaan yang lain
· Keuntungan
terapi
· Prognosis
Saat melakukan perawatan medis, seorang
dokter harus memberikan informasi yang ia ketahui kepada pasien atau
keluarganya tentang apa yang diderita pasien. Beberapa hal yang perlu diketahui
mengenai informasi ini adalah :
· Informasi
harus diberikan, baik diminta maupun tidak
· Informasi
tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dapat dimengerti oleh orang
awam
· Informasi
harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi pasien.
· Informasi
harus diberikan secara lengkap dan jujur.
Yang berhak memberikan persetujuan
setelah mendapat informasi adalah :
a. Pasien
sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun dan sudah atau telah menikah.
b. Ayah/ibu/saudara
kandung pasien, yaitu apabila pasien berumur dibawah 21 tahun.
c. Ayah/ibu
adopsi/saudara kandung pasien, yaitu apabila pasien berumur dibawah 21 tahun
dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir.
d. Ayah/ibu
kandung/wali yang sah/saudara kandung, yaitu apabila pasien dewasa dengan gangguan
mental.
e. Wali/kurator,
yaitu apabila pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan.
f. Suami/istri/ayah/ibu/anak/saudara kandung, yaitu
apabila pasien dewasa yang telah menikah atau orang tua
SARAN
Menerapkan prinsip bioetika dan etika
kedokteran dalam menjalankan tugas profesi sangat penting bagi seorang dokter.
Dengan selalu mempertahankan prinsip-prinsip bioetika dan etika kedokteran,
maka akan memperlancar tindakan perawatan terhadap pasien sehingga menghasilkan
apa yang diharapkan oleh pasien, tidak memperburuk keadaan pasien.
Seorang dokter tidak dapat sembarangan
melakukan tindakan medis terhadap pasien tanpa adanya persetujuan dari pasien
yang bersangkutan atau dari keluarga pasien, karena jika terdapat kesalahan
atau terjadi hal yang buruk sebagai akibat dari kelalaian, maka dokter tersebut
akan dikenakan sanksi sesuai dengan pasal-pasal yang terdapat pada
Undang-undang Praktik Kedokteran.
Pasien memiliki hak-hak tertentu saat
menjalani perawatan kesehatan, seperti hak untuk mendapatkankan informasi,
sehingga dokter harus memberikan informasi secara lengkap dan jelas tentang
kesehatan pasien, dan dokter hendaknya meminta persetujuan pasien sebelum
melakukan tindakan medis, karena pasien juga memiliki hak untuk memberi
persetujuan. Bila pasien masih dibawah umur, maka seorang dokter harus meminta
persetujuan orang tuanya atau keluarga, dan tidak memberikan perawatan apapun
sebelum adanya persetujuan, sehingga jika terjadi kecelakaan maka dokter tidak
dapat disalahkan.
Seorang dokter hendaknya tidak lalai
dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga tidak merugikan pasien. Kecelakaan
memiliki arti yang berbeda dengan lalai. Jika dokter telah melakukan Standard
Operational Prosedure dengan benar, maka kecelakaan yang terjadi tidak dapat
dipermasalahkan.
1. Sampurna A. Dasar Etik dan Moral Profesi Kedokteran. <http://www.freewebs.com/komitemedik/etikdanmoral.html
2. Sampurna A. Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia. <http://astaqauliyah.com/2006/12/etika-kedokteran-indonesia-dan-penanganan-pelanggaran-etika-di-indonesia/
3. Supangkat J, Gesuri AT, Syukur H. Pencabutan Gigi Tanpa Persetujuan. <http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/04/28/KSH/mbm.19900428.KSH18456.id.html>.