Minggu, 31 Mei 2015

PELANGGARAN KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI



Dewasa ini telah banyak kasus-kasus yang terjadi akibat kurangnya ketelitian dokter dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga memperburuk keadaan pasien. Salah satu contohnya adalah kasus pencabutan gigi yang dilakukan tanpa persetujuan, seperti dibawah ini.


NOVI, 9 tahun, berangsur-angsur sembuh. Mulutnya yang mencong mulai kembali ke posisi semula. Kelopak matanya yang terbuka sedikit ketika tidur sudah bisa mengatup. Sebelumnya membelalak terus. Tapi Machfud, orangtua Novi, tetap mengajukan tuntutan. Kasus ini pekan lalu dilaporkan ke Polres Cianjur, Jawa Barat. Menurut ayahnya yang pegawai PLN Cianjur itu, Novi mengalami gangguan saraf setelah giginya dicabut. Peristiwanya terjadi November tahun silam. Ketika itu 27 dokter gigi yang baru lulus dari Universitas Trisakti, Jakarta, mengadakan aksi sosial di Cianjur. Seminggu mereka buka praktek memeriksa gigi cuma-cuma di Balai Desa Cibeber. Termasuk anak yang terpikat memeriksakan giginya adalah Novi, pelajar SD Negeri Hanjawar, Cibeber. Atas inisiatifnya sendiri, hari itu Novi datang tidak bersama orangtuanya — dan inilah yang kemudian menimbulkan masalah. Menurut Ida Sofiah, Kepala SD Hanjawar, Novi bukan satu satunya pelajar yang tertarik. “Mereka mau memeriksakan giginya karena dijanjikan ada hadiah, pasta dan sikat gigi. Namanya juga anak-anak, mereka tertarik pada hadiah gratis itu,” kata Ida.

Dalam pemeriksaan, para dokter gigi muda itu menemukan, pada rahang bawah, salah satu gigi susu Novi sudah goyah. Selain membersihkan giginya yang kebanyakan keropos, mereka sekaligus mencabut gigi yang goyang tadi. Sesudah itu, tidak ada peristiwa luar biasa. Dua hari setelah pencabutan giginya, muncullah keluhan Novi. Dan yang mengejutkan orangtuanya, bibirnya kemudian mencong. Bahkan kelopak matanya tak bisa ditutup walaupun ketika tidur. Lalu Novi dibawa berobat pada dr. Arief di poliklinik PLN. Setelah memeriksanya, dokter ini menganjurkan agar Novi dibawa ke RS Hasan Sadikin Bandung untuk menjalani fisioterapi. Anak itu, menurut Arief, mengalami kontraksi otot. Dalam perawatan di RS Hasan Sadikin, tiga kali seminggu Novi mendapat pengurutan dan latihan fisioterapi. Kata dokter yang tak mau disebut namanya yang merawatnya di sana, Novi mengalami trauma. Cuma tak ada keterangan rinci jenis trauma apa, bahkan apakah itu berasal dari gigi yang dicabut. Perawatan sampai dua bulan.

Bulan ketiga ayah Novi menghentikan perawatan anaknya. “Kami kehabisan dana. Perawatan sudah menghabiskan Rp 750 ribu,” kata Machfud. Dan muncul pula penyesalannya: mengapa pihak Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Trisakti lepas tangan. “Jangankan memberi bantuan, menengok anak saya pun tidak,” katanya. Menurut Machfud, pada 22 Februari ia hanya menerima surat dari drg. Hamilah D. Koesoemahardja, Dekan FKG Trisakti. Dalam surat itu, Hamilah menolak perkiraan bahwa gangguan saraf yang diderita Novi berpangkal dari pencabutan giginya. “Kesimpulan kami ini tidak terdapat kaitan antara pencabutan gigi susu itu dan kelainan pada mulut dan mata Novi,” tulis Hamilah. Juga dijelaskan oleh Hamilah, pada Februari telah diadakan pertemuan untuk membahas kasus Novi. Pertemuan dihadiri aparat Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, dr. Arief, serta pihak FKG Trisakti. Dalam pertemuan tersebut dr. Arief mengutarakan hasil pemeriksaannya, yang menunjukkan pada bekas gigi yang dicabut itu telah tumbuh gigi baru. Dan di bagian itu juga tak terdapat pembengkakan. Karena itu, Hamilah menyimpulkan, pencabutan gigi tidak menimbulkan kelainan. Sewaktu dihubungi wartawan TEMPO, pihak FKG Trisakti menampik memberi keterangan resmi. Mereka, kata seorang pejabat di sana, memilih bersikap diam. “Baik secara teknis maupun medis, kami tidak melakukan kesalahan,” kata seorang pengajar yang menolak namanya disebut. “Dan para dokter yang melakukan aksi sosial itu bisa dipertanggungjawabkan kemampuan profesionalnya. Mereka bukan mahasiswa.” Dari keterangan yang digali, kemudian terungkap, sebelum dan sesudah pertemuan FKG Trisakti dengan aparat Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, sebenarnya pihak FKG Trisakti sudah berusaha mendatangi keluarga Machfud. Ikhtiar ini dicegah oleh aparat Pemda Cianjur, yang mengatakan “akan membereskan” persoalan tersebut. “Karena itu, kami merasa sudah tidak ada masalah lagi,” ujar sebuah sumber. Ada masalah atau tidak, sering terdengar bahwa pencabutan gigi bisa menimbulkan gangguan saraf dan kerusakannya permanen — seperti mulut mencong. “Dalam literatur memang ada,” kata drg. Ayu Astuti, ahli bedah rahang RS Hasan Sadikin. Akibatnya juga bisa berlangsung lama. Hanya, peristiwa semacam ini jarang terjadi. “Selama berpraktek, saya belum pernah menemukan kasus semacam itu,” ujar Astuti. Kemungkinan penyebab terjadinya gangguan saraf, tambah Astuti, adalah kesalahan menyuntik ketika melakukan pengebalan. Atau saat pencabutan dilakukan ada saraf yang terkena. Dan gangguan ini lazim terjadi langsung setelah penyuntikan atau pencabutan. Dari segi medis, memang banyak yang masih harus diperdebatkan. Sedangkan menurut Machfud, “Masalahnya bukan cuma itu saja.” Tuntutannya juga didasarkan karena gigi anaknya dicabut tanpa meminta izin padanya. “Izin itu memang diperlukan,” kata dr. Budi Sayuto, wakil direktur pelayanan medik RS Hasan Sadikin. Karena pencabutan itu termasuk tindakan invasif, orangtua Novi perlu mendapat penjelasan tentang akibatnya. Setelah menerima penjelasan, orangtuanya harus memberikan persetujuan dengan menandatangani surat pernyataan. Ini prosedur resminya. “Tapi kalau pencabutan gigi tidak diperlukan izin tertulis,” kata Budi Sayuto.



PEMBAHASAN

Seorang dokter maupun dokter gigi seharusnya meringankan beban yang diderita pasien, bukan malah memperburuk keadaan pasien. Dan sebelum melakukan tindakan medis, hendaknya dokter tersebut meminta persetujuan pasien atau keluarganya dengan cara diberikan pemahaman yang benar agar tidak terjadi kesalahpahaman. Hal ini terkait dengan prinsip bioetika beneficience (mengutamakan kepentingan pasien), non-maleficience (tidak memperburuk keadaan pasien), dan autonomy (menghormati hak pasien dalam memutuskan).

Selain itu hal tersebut juga terkait dengan Undang-undang Praktik Kedokteran Pasal 66 yang menyebutkan :

1.      Setiap orang yang mengetahui dan kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan disiplin Kedokteran Indonesia.

2.      Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :

a.      Identitas pengadu
b.      Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan
c.       Alasan pengaduan

3.      Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Hak pasien untuk mendapat informasi dan hak untuk memberikan persetujuan tindakan medic diatur dalam Pasal 53 ayat (2) yang berbunyi:

“Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien“

Yang dimaksud dengan hak pasien antara lain adalah :

·      Hak informasi
·      Hak untuk memberikan persetujuan
·      Hak atas rahasia kedokteran
·      Hak untuk mendapat pendapat kedua

Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien terhadap tindakan medic dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu persetujuan secara tersirat maupun persetujuan secara tersurat. Semua persetujuan tindakan medic yang diberikan oleh pasien atau keluarga pasien harus berdasarkan penjelasan yang lengkap dan jelas mengenai :

·      Diagnosis
·      Terapi dengan kemungkinan slternatif terapi
·      Tentang cara kerja dan pengalaman dokter
·      Resiko kemungkinan perasaan sakit atau perasaan yang lain
·      Keuntungan terapi
·      Prognosis

Saat melakukan perawatan medis, seorang dokter harus memberikan informasi yang ia ketahui kepada pasien atau keluarganya tentang apa yang diderita pasien. Beberapa hal yang perlu diketahui mengenai informasi ini adalah :

·      Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak
·      Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dapat dimengerti oleh orang awam
·      Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi pasien.
·      Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur.

Yang berhak memberikan persetujuan setelah mendapat informasi adalah :

a.     Pasien sendiri, yaitu apabila telah berumur 21 tahun dan sudah atau telah menikah.
b.     Ayah/ibu/saudara kandung pasien, yaitu apabila pasien berumur dibawah 21 tahun.
c.    Ayah/ibu adopsi/saudara kandung pasien, yaitu apabila pasien berumur dibawah 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir.
d.   Ayah/ibu kandung/wali yang sah/saudara kandung, yaitu apabila pasien dewasa dengan gangguan mental.
e.   Wali/kurator, yaitu apabila pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan.
f.   Suami/istri/ayah/ibu/anak/saudara kandung, yaitu apabila pasien dewasa yang telah menikah atau orang tua


SARAN

Menerapkan prinsip bioetika dan etika kedokteran dalam menjalankan tugas profesi sangat penting bagi seorang dokter. Dengan selalu mempertahankan prinsip-prinsip bioetika dan etika kedokteran, maka akan memperlancar tindakan perawatan terhadap pasien sehingga menghasilkan apa yang diharapkan oleh pasien, tidak memperburuk keadaan pasien.

Seorang dokter tidak dapat sembarangan melakukan tindakan medis terhadap pasien tanpa adanya persetujuan dari pasien yang bersangkutan atau dari keluarga pasien, karena jika terdapat kesalahan atau terjadi hal yang buruk sebagai akibat dari kelalaian, maka dokter tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan pasal-pasal yang terdapat pada Undang-undang Praktik Kedokteran.

Pasien memiliki hak-hak tertentu saat menjalani perawatan kesehatan, seperti hak untuk mendapatkankan informasi, sehingga dokter harus memberikan informasi secara lengkap dan jelas tentang kesehatan pasien, dan dokter hendaknya meminta persetujuan pasien sebelum melakukan tindakan medis, karena pasien juga memiliki hak untuk memberi persetujuan. Bila pasien masih dibawah umur, maka seorang dokter harus meminta persetujuan orang tuanya atau keluarga, dan tidak memberikan perawatan apapun sebelum adanya persetujuan, sehingga jika terjadi kecelakaan maka dokter tidak dapat disalahkan.

Seorang dokter hendaknya tidak lalai dalam menjalankan tugas profesinya, sehingga tidak merugikan pasien. Kecelakaan memiliki arti yang berbeda dengan lalai. Jika dokter telah melakukan Standard Operational Prosedure dengan benar, maka kecelakaan yang terjadi tidak dapat dipermasalahkan.

SUMBER:
1.  Sampurna A. Dasar Etik dan Moral Profesi Kedokteran. <http://www.freewebs.com/komitemedik/etikdanmoral.html
2.  Sampurna A. Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia. <http://astaqauliyah.com/2006/12/etika-kedokteran-indonesia-dan-penanganan-pelanggaran-etika-di-indonesia/
3.  Supangkat J, Gesuri AT, Syukur H. Pencabutan Gigi Tanpa Persetujuan. <http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/04/28/KSH/mbm.19900428.KSH18456.id.html>.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar