HAK CIPTA
Istilah Hak Cipta di
usulkan perrtama kali oleh Prof. St. Moh. Syah, Sh. Pada kongres kebuyaan di
bandung tahun 1951(yang di terima oleh kongres tersebut) sebagai pengganti
istilah hak pengarang yang di anggap kurang luas cakupan pengertiannya. Istilah
pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa belanda Auteurs Rechts. Dinyatakan luas karena
istilah hal pengarang itu memberikan kesan “penyempitan”arti, seolah-olah yang
di cakup oleh hak pengarang hanyalah hak dari pengarang saja, atau yang ada
sangkut pautnya dengan karangan mengarang. Sedangkan istilah hak cipta itu
lebih luas, menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Hak Cipta No.19 tahun 2002”Hak cipta adalah hal ekslusif bagi
pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau
memberi izin untuk itu dengan mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
FUNGSI DAN SIFAT HAK CIPTA
Didalam
pasal 2 Undang–undang Hak Cipta 1982 yang diperbaharui dengan Undang–undang Hak
Cipta No.7 Tahun 1987 yang diperbaharui oleh Undang–undang No.12 Tahun 1997 dan
kemudian diperbaharui lagi oleh Undang–undang No.19 Tahun 2002, secara tegas
menyatakan dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan serta member izin untuk
itu harus memperlihatkan pembatasan–pembatasan menurut peraturan perundangan
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar setiap penggunaan dan memfungsikan Hak Cipta
harus sesuai dengan tujuannya. Yang tujuan utama pembatasan terhadap Hak Cipta
ini agar setiap orang dan badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang
– wenang, hak cipta ,mempunyai fungsi social, hal ini dapat kita lihat dengan
jelas dari Undang – undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002.
Didalam
penggunaanya harus diperhatikan apakah hal itu tidak bertentangan atau
merugikan kepentingan umum. Didalam pasal 2 Undang – undang Hak Cipta 1982 yang
telah diperbaharui dengan Undang – undang Cipta 1987 yang juga telah
diperbaharui oleh Undang – undang 1997 dan telah diperbaharui oleh Undang
–undang No. 19 Tahun 2002 dikatakan bahwa Hak Cipta itu merupakan hak khusus,
dimana tidak ada yang berhak atas hak tersebut, kecuali pencipta itu sendiri
ataupun orang lain dengan izin dari penciptanya. Dalam hal ini kita dapat
melihat bahwa hak individu itu dihormati namun pada penggunaanya tetap harus
memperhatikan kepentingan umum. Kepentingan – kepentingan tersebut antara lain
; kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kegiatan penelitian dan
pengembangan.
Apabila
Negara memandang perlu, maka negara dapat mewajibkan pemegang hak cipta untuk
menerjemahkan atau memperbanyaknya atau pemegang hak cipta dapat member izin
kepada pihak lain untuk melakukannya. Mengenai sifat dari hak cipta dapat kita
lihat pasal 3 Undang – undang hak cipta yang dianggap sebagai benda bergerak
yang dapat beralih ata dialihkan (transferable) seluruhnya atau sebagian
dengan cara- cara tertentu yaitu :
a.
Pewarisan
b.
Hibah
c.
Wasiat
d.
Dijadikan milik Negara
e. Perjanjian yang dilakukan dengan akta, dengan
ketentuan bahwa perjanjian itu hanya mengenai wewenang yang disebut dalam akta.
Seperti
halnya hak - hak lain misalnya gadai, hak hipotek, hak merek, maka hak cipta
termasuk jenis benda yang tidak berbentuk. Hal ini untuk dibedakan dengan
adanya benda berbentuk misalnya rumah, kendaraan, hewan dan lain –lain. Hak cipta jika
digolongkan ke dalam benda bergerak. Akan menimbulkan pertanyaan “apakah
mungkin hak cipta dikuasai orang lain dan berlaku seolah – olah pemiliknya ?”.
Menurut Saidin, SH hal ini tidak mungkin dan kalaupun mungkin hal moral tetap melekat
pada si pencipta, karena sifat kemanunggalannya. Dengan demikian setiap orang
akan dapat mengetahui siapa sebenarnya pemilik hak cipta tersebut.
Hak
moral yang membedakan hak cipta dengan hak lainnya, ciri khusus ini hanya
dimiliki hak cipta. Jika demikian maka dapat dikatakan bahwa isi pasal 3 Undang
– undang Hak Cipta yang menyatakan bahwa hak cipta dianggap sebagai benda
bergerak tidak tepat, karena walaupun hak cipta telah dialihkan kepada pihak
lain namun hak moral melekat pada penciptanya. Sehingga hak cipta sebaiknya
digolongkan kedalam benda tidak bergerak.
PENGGUNAAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA
Pengaturan Hak Cipta yang dimiliki oleh Indonesia saat ini memiliki
sejarah yang panjang. Lebih dari 70 Tahun lamanya perlindungan Hak Cipta berada
dibawah naungan Undang – undang ciptan Belanda, baru kemudian pada Tahun 1982
kita baru memiliki Undang – undang sendiri yaitu Undang – undang No. 6 Tahun
1982. Namun seiring dengan waktu sejak Undang – undang tersebut diberlakukan
ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapakan sesuai dengan maksud awal
penciptaanya.Sebagai pembaharuan atas Undang – undang No. 6 Tahun 1982, lahirlah
Undang No. 7 tahun 1987, begitupun persoalan hak cipta belum dianggap tuntas.
Para pencipta masih merasakan kekurangan akan kepastian hak. Maka lahirlah
Undang – undang No. 12 tahun 1997. Seiring dengan waktu, kebutuhan kepastian
hukum pun bertambah dengan kemajuan jaman makan pada akhirnya dikeluarkanlah
Undang- undang No. 19 Tahun 2002, yang lebuih memperbaharui Undang – undang
yang terdahulu yang diharapkan memberikan perlindungan hukum yang lebih memadai
dan diundangkan pada bulan Juli 2002 tetapi baru mengikat pada tanggal 29 Juli
2003, dua belas bulan setelah diundangkan.
Pengertian Hak Cipta sebagaimana kita kenal
sekarang, tidak dapat lepas dari perkembangan sejarahnya. Faktor – factor yang
mempunyai pengaruh Hak Cipta adalah faktor sosial, ekonomi, politik dan
teknologi, dimana ketiga factor tersebut sangat berpengaruh terhadap
perkembangan hak cipta yang bertujuan untuk melindungi para pencetus atau
pencipta. Dalam rumusan undang – undang mengenai pengertian Hak Cipta dalam hal
ini didasarkan pada Undang – undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang
sebagaimana telah diubah dari Undang – undang No. 12 Tahun 1997 yang
sebelumnnya diubah dari Undang – undang No. 7 Tahun 1987 yang juga telah diubah
sebelumnya dari Undang – undang No. 6 Tahun 1982. Ditemukan rumusan Hak Cipta
sebagai berikut : Hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya maupun memberi izin untuk itu yang
tibul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan dengan tidak mengurangi
pembatasan – pembatasan menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Hak
Cipta yang dimaksud diatas dalam pembahasan ini didasarkan pada Undang – undang
No.19 Tahun 2002. Berdasarkan kuitpan diatas dapat kita garis bawahi kutipan
diatas terutama pada kalimat bahwa Hak Cipta adalah Hak Khusus bagi penciptanya
yang berarti bahwa hak ini hanya diperuntukkan bagi para penciptanya dan bagi
mereka yang memperoleh daripadanya. Tidak ada orang lain yang boleh melakukan
hak itu atau orang lain hanya dapat melakukan atas izin pencipta. Istilah ``hak
khusus’’ dipakai untuk menerangkan bahwa hak Cipta merupkan hak
istimewa.13Kedua hak khusus tersebut meliputi hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaanya, yang sesuai dengan penjelasan arti beberapa istilah tercantum
dalam pasal 1 Undang – undang Hak Cipta, adalah sebagai berikut :
1. Pengumuman adalah pembacaan, penyuaraan, penyiaran atau penyebaran
sesuatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa
sehingga suatu ciptaaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain.
2. Perbanyakan adalah menambah jumlah
sesuatu ciptaan, dengan pembuatan yang sama, hamper sama atau menyerupai
ciptaan tersebut dengan mempergunakan bahan – bahan yang sama maupun tidak
sama. Termasuk mengalih wuudkan sesuatu ciptaan.
Menurut rumusan Undang – undang Hak Cipta 202,
ciptaan adalah hasil karya setiap karya pencipta dalam bentuk khas apapun juga
dalam lapangan ilmu, seni dan sastra. Sedangkan pencipta adalah seorang yang
secara bersama – sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan
pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Pengertian Hak Cipta sendiri adalah
suatu pengertian yang luas yang dapat diklarifikasikan ke dalam beberapa bentuk
hak yang berbeda yaitu hak ekonomi (economy Rights) dan hak moral (moral
rights). Undang – undang Hak Cipta No.19 Tahun 2002 sendiri membedakan hak
cipta dengan hak milik industri yang lain. Dikatakan bahwa ciptaan itu adalah
hasil kraya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukan keasliannya dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Perkembangan industri yang berbasis
hak cipta telah meningkatkan pendapatan, juga telah meningkatkan kesempatan
kerja. Peluang kerja baru semakin terbuka seiring dengan perkembangan kemajuan
industri tersebut Industri yang berbasis Hak Cipta itu diantaranya ialah
industri musik dan perdagangannya.
CONTOH KASUS YANG TERKAIT DENGAN MASALAH HAK CIPTA DI INDONESIA
KASUS “PENJIPLAKAN’ REOG PONOROGO
Pada tahun 2009, seorang peneliti yang berasal
dari Yogyakarta yang sedang mengikuti program ACICIS di Univesitas Gadjah Mada,
sebuah kontroversial muncul mengenai Tari Pendet, sebuah kesenian yang berasal
dari bali. Kontroversi heboh ini di sebabkan penggunaan tarian yang berasal
dari bali ini dalam sebuah iklan pariwisata Malaysia. Reaksi yang di terima
saat berita ini pertama kali di siarkan sangat mengejutkan. Banyak warga marah
luar biasa dengan negeri jiran, Malaysia, yang telah ‘menjiplak’ sebuah
kesenian yang merupakan warisan budaya Indonesia. Ternyata ini bukan pertama
kalinya.
Tari Reog Ponorogo sempat
menjadi bahan berita di Indonesia pada bulan November 2007, saat Tari Barongan,
yang “persis bahkan sama” dengan Reog, menjadi bagian dari kampanye pariwisata Visit Malaysia 2007,’Malaysia Truly Asia’. Yang
paling menyinggung perasaan orang ponorogp, sosok Singo Barong yang menjadi
ikon Reog pakai topeng Dadak Merah terkenalnya tanpa tulisan ‘Reog Ponorogo’
yang seharusnya ada dimana pun Reog di pentaskan. Malah tulisan Reog Ponorogo
itu di ganti dengan satu kata ‘Malaysia’. Kebetulan pada tahun 2004 di ciptakan
buku ‘Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa’yang
merupakan daftar lengkap alat-alat dan gerakan Reog dan juga menjaminkan hak
cipta atas Reog kepada kabupaten Ponorogo, tetapi hanya sampai ke tingkat
nasional.
Saat ini banyak media di
Indonesia menyiarkan berita bahwa Malaysia telah ‘mengklaim’ Reog sebagai
miliknya sendiri. Hal itu berdasarkan pencantuman Barogan alias Reog di situs
resmi pariwisata Malaysia dengan penjelasan bahwa kesenian tersebut ‘berkembang
di Batu Pahat, Johor dan Selangor”.Beberapa hari setelah berita itu pertama
kali di cetak, sekelompok mahasiswa dari Universitas Islam Sunan Giri dan
Institut Agama Islam Riyadatul Muhajidin Ponpes Walisongo berunjuk rasa
sekalian membakar bendera Malaysia di kota Ponorogo. Duta Besar Malaysia, Dato
Zainal Abidin Zain, memberikan penjelasan bahwa “Kerajaan Malaysia tidak pernah
mengklaim tari reog original dari
Malaysia”. Tanggal 5 Deseber Dubes Malaysia menyelenggarakan acara di kedubes
Malaysia yang di hadiri bupati Ponorogo, sehingga secara resmi masalah
penjiplakan Reog di anggap ‘sudah selesai’.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar